Buyu Julutumpu dan Gunung Hek
Buyu julutumpu adalah Kawasan Gunung Lingketeng atau
kawasan Gunung Julutumpu atau juga disebut Kawasan Lopinting, yang terdapat
danau besar seluas 2-3 Ha, dan merupakan sumber mata air dari tiga Daerah Aliran
Sungai (DAS) di kawasan itu. Das Balingara Kecamatan Nuhon berbatasan dengan
Kabupaten Tojo Una-Una, Das Lobu Kecamatan
Pagimana, Das Toima Kecamatan Bunta, Das Batui Kecamatan Batui dan Das Mendono
Kintom. Dimana fungsi dan ekosistemnya masih terawatt. Namun tidak dapat
dipungkiri dibagian hilirnya akan terancam dari berbagai kepentingan investasi
tambang migas, nikel, IUPHHK dan perkebunan kelapa sawit. Memandang infrastruktur
percepatan pembangunan ekonomi wilayah timur khususnya Kabupaten Banggai
melalui BP Kapet (baca summary BP Kapet Batui Kabupaten Banggai). Merencang wilayah
pengembangan ekonomi terpadu wilayah timur, dan saat telah merebut serta mengambil alih dan memarginalkan wilayah
kelola masyarakat adat loinang
Potret Masyarakat Adat Loinang
Berdasarkan data yang dimiliki
diwilayah Kabupaten Banggai, melalui Perkumpulan Pusat Studi Advokasi Rakyat
Banggai. Berinisiatif terhadap gejolak potensi konflik dan perubahan tutupan
hutan, serta dampak peralihan wilayah kelola tradisional adat loinang yang
semakin terancam. Masyarakat adat loinang semenjak belum adanya Negara, telah
mengelola dan memanfaatkan wilayah buyu julutumpu dan pegunungan hek. Sebagai tempat
bersandar untuk hidup melalui tata kelola pertanian secara berkelompok. Dan
pendistribusian untuk pemanfaatan hutan untuk pertanian ditentukan oleh tetua
adatnya melalui pertemuan adat dan menentukan musim tanam bersama. Rotasi pertanian
masyarakat adat loinang yang berpindah-pindah dengan jarak musim tanam 1 tahun 2
kali masa panen dengan vareditas pertaninnya. Seperti padi ladang habo, untuk
mengenal musim tanam yang dilaksanakan oleh masyarakat adat loinang disebut musim
tarise (artinya musim tanam pada bulan Januari dan bulan Juni masa panenNya).
Corak tanam yang lainnya yang jadikan
andalan dalam melanjutkan pemenuhan hidup selain berburu hewan, adalah umbi-umbian
(disebut bokung) dan sagu (disebut pangki) adalah makanan pokok masyarakat adat
loinang
Pembuktian
tata kelola wilayah adat loinang yang sampai saat ini masih ada dan terus
lestari; diwilayah kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat loinang.
Dalam kawasan hutan buyu julutumpu dan hek dalam menjamin pemenuhan hidup
melalui 4 tata; pertama tata pertanian kedua tata mukim tiga
tata adat empat tata batas kelola berikut; Lipu Dumodopnyo (artinya besok
pagi kampung tempat pertemuan) yang biasa disebut lipu kahumamaon dengan jarak
rumah satu dan lainnya 1-2 km (lipu kahumamaon digunakan sebagai tempat
pertukaran hasil panen pertanian dengan masyarakat kampung pesisir hutan), Sinasinayon
“artinya matahari terbit dan tenggelam tempat tinggal, bertani dan berburu” (juga
disebut segitiga tapal batas digunakan untuk tempat berburu, tapal batas antara
masyarakat adat ta’a dan masyarakat adat wana), Lembah kolakolamon (tempat yang
dijadikan benteng pertahanan perang antara suku wana dan masyarakat adat
loinang) dan hutan tangkolak (hutan tengkorak) artinya tempat kuburan leluhur
Wilayah Sebaran
Masyarakat adat loinang berinteraksi
dibuyujulutumpu dan pegunugan hek ada sampai sekarang dan masih mempertahankan
tata adat. Dan masih mempertahankan
kepercayaan leluhurnya (tidak mempunyai agama dan berpakaian kain kulit kayu
bersenjata tombak serta panah). Olehnya masyarakat loinang seakan mengisolasi
diri (warga pesisir hutan menyebut masyarakat terasing / primitive). Karena tidak
berhubungan social dengan masyarakat kampung dipesisir hutan, adapun wilayah
sebaran mukimnya meliputi; Lipu Molontobe / Dumodopnyo / Kahumamaon masuk dalam
administrasi Kecamatan Batui Selatan Desa Maleo Jaya, Lipu Tombiombong. Masuk
dalam wilayah administrasi Kecamatan Batui, Kahumbangan masuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Toili, Masungkang. Masuk dalam wilayah administrasi
Kecamatan Batui, Sinasinayon masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Toili,
Alangan Desa Balingara masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Nuhon
Untuk
wilayah kelola yang telah dikuasai oleh perusahan perkebunan kelapa sawit, dan
perusahan pertambangan migas; Lipu Kolakolamon, Lipu Lingkongan dengan sub
mukimnya Batu Logo, Konau, Mokuni, Bola, Loa, Salu Bakung. Dan Simpanga masuk
dalam wilayah administrasi Kecamatan Batui. Masyarakat adat loinang yang
dahulunya adalah masyarakat penjaga hutan. Sesuai dengan namanya loinang
“Hutan” dengan sub etnisnya To Madi masyarakat pesisir hutan (bahasa asli
loinang adalah madi). Yang berinteraksi dikawasan hutan buyu julutumpu,
pegunungan hek. Masyarakat adat Lo’on yang berinteraksi dipegunungan tompotika
dengan sub etnisnya masyarakat adat Andio dan masyarakat adat Lobo dengan sub
etnisnya Sese. Yang berinteraksi diwilayah administrasi Kabupaten Banggai
Kepulauan. Dari 3 etnis besar yang ada di Kabupaten Banggai sebelum berpisah
dengan Banggai Kepulauan masing-masing telah menetapkan batasnya yang pada akhirnya
menjadi keputusan batas admnistrasi kabupaten.
Ancaman Masyarakat Adat Loinang
Kabaupaten Banggai juga dipicu
dengan adanya perusahan skala besar pertambangan Nikel, Migas, perkebunan dan
IUPHHK, IPKTR, pembalakan liar dan jual beli lahan atas nama kelompok tani. Di wilayah
Areal Penggunaan Lain untuk kepentingan investasi. Telah membuka ruang
perubahan tutupan hutan, dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Banggai. Yang mengalokasikan pola pemanfaatan ruang kawasan lindung didaratan
KSA-KPA (kawasan suaka alam-Kawasan pelestarian alam). Wilayah hutan dalam administrasi
Kabupaten Banggai 23.726 Ha.
Dalam lingkup perencanaan kehutanan untuk
menetapkan dan memperluas kawasan hutan dari luas hutan 940.553 sampai tahun
2013 akan mencakup areal : Hutan Lindung 173.624 Ha atau sekitar 17,95%. Hutan
Suaka seluas 18.654 Ha atau sekitar 1,93%. Kawasan Lindung seluas 257.928 Ha
atau sekitar 26,67% dari total keseluruhan guna lahan di Kabupaten Banggai.
Dengan demikian ancaman yang akan muncul dari strategi dan pengelolaan
kehutanan Kabupaten Banggai. Untuk hal itu telah mendisikriminasikan
kepentingan masyarakat adat loinang yang telah lama beradaptasi dan menfungsikan
hutan sebagai hunian. Dan interaksi budaya, budidaya pertanian, berburu untuk
mempertahankan hidup. Telah di abaikan terbukti dengan strategi RTRW/K
Kabupaten Banggai
Penetapan tentang tata hutan yang dituangkan dalam Revisi
RTRW K 2009-2013; 1. Mempertahankan
hutan lindung yang ada. 2. Mendelineasi dan menetapkan kembali kawasan status
suaka alam margasatwa dengan kondisi habitat yang dilindungi yang mutakhir. 3
Mengendalikan kegiatan budidaya dikawasan pegunungan diwilayah bagian tengah
Kabupaten Banggai. 4. Mengendalikan perkembangan fisik
disekitar trase jalan Toili-Balingara yang memotong pegunungan diwailayah
bagian tengah. 5. Mengendalikan pembangunan fisik disempadan sungai,
pantai, waduk dan mata air. 6. Mengendalikan pemusnahan vegetase manggrove
dipesisir pantai. 7. Membangun permukiman bagi suku
saluan (loinang) dengan mempertimbangkan adat dan tradisi suku yang
bersangkutan
Fakta perencanaan yang
dicanangkan oleh dinas kehutanan Kabupaten Banggai dengan berbagai metoda dan
agitasi lintas instansi untuk memposisikan masyarakat adat loinang lemah,
sebagai berikut ; di Kecamatan Batui Selatan (wilayah pemekaran Kecamatan Batui) mereka direlokasikan dari
wilayah hukum adatnya dan dibuatkan perumahan, karena dianggap metoda bertani
dan tidak mempunyai agama, tidak memiliki identitas diri yang berotasi
dipungungan gunung Balingara Kecamatan Nuhon, Kecamatan Simpang Raya, Kecamatan
Pagimana, Kecamatan Bunta, Kecamatan Toili Barat, Kecamatan Toili, Kecamatan
Batui Selatan, Kecamatan Batui dan Kecamatan Kintom membuat bencana banjir, padahal
di sekitar kawasan pungungan gunung dari perbatasan, Kecamatan Pagimana
Kecamatan Simpang Raya, Kecamatan Bunta, Kecamatan Nuhon Desa Balingara perbatasan Kabupaten Tojo Una-Una adalah wilayah IUPHHK PT.
Sapta Graha Adikarya dan IUPHHK PT. Palopo Timber Company meliputi wilayah
hutan Kecamatan Toili Barat, Kecamatan Toili, Kecamatan Batui Selatan,
Kecamatan Batui dan Kecamatan Kintom Desa Ulin
Sebagian besar masyarakat yang
saat ini bermukim di pesisir bertutur tentang kehidupan mereka saat masih berada
didalam kawasan hutan. Tentang pemenuhan hidup mereka yang tidak mengenal
krisis pangan atau dampak akibat kerusakan hutan. Warga Desa Tolitan Kecamatan
Kintom bencana banjir dan longsor di tahun 1983 menjadi alasan mereka harus
pindah ke pesisir. Bagi masyarakat adat kehumamaon di Desa Lokait Kecamatan
Simpang Raya. Melalui program relokasi KAT yang dicanangkan oleh Dinsos pada
tahun 2000-an menyebabkan sebagian besar dari mereka harus turun meninggalkan
peradaban yang telah mereka bangun ratusan tahun.
Saat ini ketika mulai menata
kehidupan, ancaman kembali berada dan berhadapan dengan mereka. Karena harus
melepaskan rumah dan lahan perkebunan mereka. Yangmana wilayah kelolanya akan
digunakan untuk kepentingan investasi pertambangan migas, nikel dan perkebunan
sawit. Tim Riset PUSAR Banggai