Minggu, 30 September 2012

10 Tahun Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang

Lambatnya penanganan pemerintah terhadap kasus perambahan lahan Suaka Margasatwa Bakiriang di Luwuk menyebabkan kasus ini berlangsung alot selama kurang lebih 10 Tahun sejak dilakukannya upaya penanganan pertama (Tahun 2000). Kasus ini berawal dari perambahan lahan Suaka Margasatwa Bakiriang oleh penduduk setempat yang menjadikan kawasan hutan lindung tersebut sebagai pemukiman dan juga pondok kebun.
Hingga tahun 2009, tercatat 403 buah pondok kebun yang berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang. Berdasarkan peninjauan yang dilakukan oleh DPRD Sulteng pada tahun 2006, muncul indikasi bahwa perambahan yang dilakukan masyarakat setempat konon disponsori oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS).
Perusahaan yang dipimpin oleh Murat Husain ini bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang kini arealnya telah memasuki kawasan Hutan Lindung Bakiriang. Ironisnya, peristiwa ini justru didukung oleh Kepala Desa Sinorang dengan diterbitkannya Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) atas lahan tersebut. Selain itu, berdasarkan peninjauan yang dilakukan diketahui bahwa debit air irigasi Mentawa juga menurun diakibatkan banyaknya penebangan kayu yang dilakukan oleh PT. KLS di daerah tersebut. Satu point penting hasil peninjauan saat itu adalah berubahnya izin lokasi HTI (Hutan Tanaman Industri) PT. Berkah Hutan Pusaka (BHP) menjadi perkebunan kelapa sawit PT. KLS dan sejak tahun 1998 HPHTI PT. BHP sudah tidak melaksanakan kegiatan sebagaimana mestinya sehingga pemanfaatan kawasan hutan tidak sesuai lagi dengan izin yang diberikan. Belakangan diketahui bahwa kondisi areal HPHTI PT. BHP sekarang ini sebagian sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit dengan luas ± 750 Ha. Setelah sekian lama kasus ini berjalan tanpa penyelesaian yang pasti, pada pertengahan tahun 2009 kasus ini kembali menghangat dan mulai memanas. Pada awal tahun 2010,
tepatnya pada tanggal 25 Januari 2010 diketahui bahwa Dirut PT. BHP masih memiliki sisa tunggakan dana reboisasi per 15 Januari yang harus dibayarkan kepada Departemen Kehutanan RI sebesar Rp. 6.905.988.125,92. Fakta ini menambah daftar panjang catatan kelam PT. BHP. Kasus ini semakin bergejolak dengan adanya demo para petani Toili tanggal 17 Maret 2010 di Polres Banggai. Sekitar 500 petani Toili datang ke Polres Banggai dan mendesak agar Direktur PT. KLS ditangkap dan diproses secara hukum. Selesai berunjuk rasa di Polres Banggai, para pengunjuk rasa menuju Kejari Luwuk untuk memberikan dukungan dan peringatan keras agar pihak kejaksaan tidak main belakang dengan PT. KLS. Merasa belum cukup dengan berunjuk rasa di 2 tempat, para petani ini menggenapi aksi unjuk rasa mereka di Kantor Bupati Banggai. Para pengunjuk rasa menemui Bupati Banggai, Ma’mun Amir untuk meminta pemerintah daerah segera mencabut izin HTI dan HGU PT. KLS. Besar kemungkinan unjuk rasa ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintah dan penegak hukum setempat dalam menyelesaikan kasus bakiriang. Bukti nyata, pada tahun 2002 tim penertiban perambahan hutan SM Bakiriang bentukan Bupati Banggai berhasil merelokasi 55 KK keluar dari kawasan SM Bangkiriang. Namun diketahui belakangan bahwa 55 KK tersebut kembali ke SM Bangkiriang. Upaya yang cukup bagus namun akhirnya kembali ke titik nol. Menurut kabar yang beredar, Bupati Banggai dinilai kurang tegas dalam menyikapi kasus ini. Berdasarkan surat beliau nomor 522.51/10.16//Dishut (tahun 2009) kepada Menteri Kehutanan RI, dijelaskan bahwa telah terjadi perambahan hutan oleh masyarakat setempat dan ditemukan bahwa sebagian areal SM Bakiriang sudah dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang didukung oleh oknum pengusaha dibidang perkebunan sawit. Namun dalam suratnya, beliau “hanya” meminta agar Bapak Menteri segera mengambil langkah preventif demi kelangsungan fungsi SM Bakiriang sebagai kawasan konservasi. Mengingat lamanya kasus ini berlangsung dan dampak yang dihasilkan, sudah sepatutnya Bupati Banggai meminta tindakan yang lebih tegas dan konkret guna menyelesaikan masalah ini secepatnya sehingga tidak lagi merugikan banyak pihak. Dalam wawancara Hunter dengan Ketua Pengurus LSM Green Matoa, Ir. Hans Karyose mengatakan bahwa secepatnya kasus ini akan beliau laporkan ke KPK, mengacu pada adanya perubahan izin lokasi HTI PT. BHP menjadi perkebunan kelapa sawit milik PT. KLS. “saya upayakan melaporkan kasus ini ke KPK, karena ada baiknya KPK memanggil pihak-pihak yang terkait dengan perubahan izin tersebut agar masalah ini segera menemui titik terang”, ujar Ir. Hans. Sebagai Ketua Pengurus LSM Green Matoa yang sangat peduli dengan lingkungan, tentunya Ir. Hans tidak hanya berfokus pada hal tersebut (perubahan izin lokasi) tetapi juga dampak kerusakan lingkungan, mengingat situasi iklim dunia yang seperti sekarang, dimana semua negara sudah mulai menyadari pentingnya pelestarian lingkungan hidup terutama hutan-hutan di daerah tropis yang menjadi penyangga atau merupakan paru-paru dunia. “Global Warming” adalah satu kata kunci yang harus ramai-ramai kita perangi sehingga kasus-kasus seperti ini hendaknya bisa segera ditindak tegas dan diselesaikan. Itupun jika kita sebagai manusia peduli dengan kelangsungan makhluk hidup di Bumi ini, tambah Ir. Hans. Sebagaimana yang diketahui oleh kita semua, fungsi pokok dari kawasan suaka margasatwa adalah sebagai kawasan perlindungan dan kelestarian jenis-jenis satwa beserta habitatnya, kawasan yang dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Suaka margasatwa sebagai salah satu bentuk perwakilan ekosistem pada prinsipnya memerlukan pengelolaan sedemikian rupa sehingga fungsi konservasinya dapat selalu optimal. “Berdasarkan data yang Hunter peroleh dan banyaknya berita yang dimuat di media cetak, aktivitas PT. KLS sudah cukup mengganggu stabilitas lingkungan. Dengan dibukanya kawasan hutan lindung menjadi pemukiman dan areal perkebunan, juga banyaknya penebangan pohon yang dilakukan, hal itu sudah bisa menjadikan PT. KLS sebagai salah satu target utama Green Matoa dalam mengupayakan pemberian tindakan tegas oleh penegak hukum terhadap pihak-pihak tertentu (baik perseorangan, kelompok, ataupun instansi-instansi) sehubungan dengan pengrusakan lingkungan

  • Web
  • PUSAR Banggai (Pusat Studi Advokasi Rakyat)